Rabu, 26 Juni 2013

resensi trilogi novel dukuh paruk


TUGAS AKHIR SEMESTER
RESENSI TRILOGI NOVEL
“ TRADISI KESENIAN MUNCULNYA TARIAN SEBAGAI PELENGKAP BUDAYA YANG MENGAIRAHKAN MASYARAKAT ”
Dosen Pengampu : M. Fakhrur Saifudin
Disusun Oleh :
Kusuma Wardani         A310120099

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
 
IDENTITAS BUKU
Judul               : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis             : Ahmad Tohari
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku      : 406 halaman; 21 cm
Tahun Terbit    :2011
Cetakan ke-7   : November 2011
Harga                          : Rp.65.000
ISBN               : 978-979-22-7728-9
Jenis Buku       : Fiksi

Suatu kisah yang diceritakan Ahmad Tohari dalam dongeng novelnya yang berjudul”Ronggeng Dukuh Paruk”, novel ini adalah dari gambaran Ahmad Tohari yang berhasil dibangkitkan dan mampu mengikis khayalan indah tentang kehidupan dipedesaan Jawa. Ahmad Tohari pernah menjadi staf redaktur harian Merdeka, majalah Keluarga dan majalah Amanah, semuanya di Jakarta. Dalam karir kepengarangannya, penulis yang berlatar kehidupan pesantren ini telah melahirkan novel dan kumpulan cerita pendek. Beberapa karya fiksinya antara lain trilogi ''Ronggeng Dukuh Paruk'' telah terbit dalam edisi Jepang, Jerman Belanda dan Inggris. Ronggeng Dukuh Paruk, novel yang diterbitkan tahun 1982 berkisah tentang pergulatan penari tayub di dusun kecil. Tohari memberikan apresiasi yang tinggi terhadap para pembuat film Sang Penari, dan berujar ini akan jadi dokumentasi visual yang menarik versi rakyat, bukan versi kota sebagaimana dalam film-film sebelumnya.
Pelaku dalam novel ini di antaranya adalah ; Serintil, Kartareja, Sakarya, Rasus, Darsum, Dower, Sulam, Warta, Sersan Slamet dan pasukan lainnya, serta warga dukuh paruk dan warga desa dawuan. Dukuh Paruk adalah daerah terpencil yang sebagian besar adalah rakyat miskin, bodoh, dan tanpa penggalaman yang luas. Srintil dilahirkan untuk menjadi ronggeng di Dukuh Paruk, meskipun dalam tradisi seorang ronggeng Srintil tidak dinobatkan mengikatkan seorang lelaki, namun Srintil tak dapat melupakan Rasus karena sudah mengilang di Dukuh Paruk. Ronggeng sudah menjadi simbol dan tradisi di Dukuh Paruk, jika tidak ada penerus ronggeng maka musim paceklik akan terus berlanjut dan pada akhirnya semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang lalu. Bagi pedukuhan yang kecil, miskin, terpencil, dan bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang, karena tanpa adalnya ronggeng kini Dukuh Paruk merasa kehilangan jati diri. Pada akhirnya serintil telah resmi menjadi ronggeng yang resmi, kerena kecantikannya banyak lelaki yang menganderungi dia.
Namun, malapetaka politik tahun 1965 membuat Dukuh Paruk hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia yang telah menguncangkan negara ini. Pedukuhan itu dibakar, ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya karena kecantikan srintil ia tidak diperlakukan semena-mena oleh penguasa di penjara itu. Penggalaman pahit sebagai tahanan politik membuat srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia dan setelah bebas maka ia akan memperbaiki citranya. Srintil berjanji tidak akan melayani lelaki manapun, ia ingin menjadi wanita somahan. Suatu ketika muncul seseorang yang bernana Bajus, yang menimbulkan sepercik harapan yang makin lama makin membuncah. Tapi, ternyata Srintil kembali terempas dan membuat jiwanya hancur berantakan hingga menjadi gila, tanpa harkat secuil apapun.


“ TRADISI KESENIAN MUNCULNYA RONGGENG DI DUKUH PARUK SEBAGAI PELENGKAP BUDAYA YANG MENGAIRAHKAN MASYARAKAT ”
            Dalam novel ini dikisahkan seorang ronggeng atau penari, tempatnya di daerah Dukuh Paruk yang bernama Srintil. Dukuh Paruk adalah pedesaan yang kecil, miskin, dan sangat terpencil serta moralitas pemikirannya masih sempit. Pada saat ini Dukuh Paruk terjadi musim kemarau atau paceklik, peladangan kering kerontang, burung-burung dan hewan ternak lainnya berusaha mempertahankan dirinya untuk hidup. Bromocorah dipedukuhan ini adalah Ki Secamenggala yang konon ceritanya menjadi musuh kehidupan masyarakat, namun mereka semua memuja kuburan Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk. Di tepi kampung ada tiga anak laki-laki yang berusaha mencabut singkong, mereka bernama Rasus, Warta, dan Darsun, mereka bertiga melihat srintil sedang asik bermain sendirian dibawah pohon nangka dan merangkainya daun nangka untuk dijadikan sebuah mahkota. Setelah rangkain mahkota itu jadi lalu dipasang srintil dikepalanya, srintil menari dan teman-temannya meragakan musik ronggeng dengan bersuara, Srintil terlihat sangat kenes ketika menarikan selayaknya seperti ronggeng.
Dukuh Paruk sudah menemukan indang ronggeng ia bernama srintil, Sakarya kakek srintil menyerahkan kepada Kartareja untuk melatih Srintil dan merawatnya, karena Pedukuhan ini sudah lama sejak kematian ronggeng terakhir sekitar dua belasan tahun yang lalu dan akhirnya kini menemukan penggantinya gadis yang masih perawan dan berusia sebelasan tahun. Srintil kini sudah menjadi perempuan pilihan masyarakat dan sudah menari didepan orang-orang banyak, menurut pandangan masyarakat ronggeng adalah milik semua orang. Ketika Srintil sudah dipilih menjadi ronggeng maka harus menjalankan syarat untuk menjadi ronggeng yang resmi, salah satunya adalah acara bukak klambu yang harus dilakukan dengan cara menyerahkan keperawannya kepada lelaki yang sanggup membelinya dengan persyaratan yang sudah dijanjikan oleh dukun ronggeng. Jika ada lelaki yang sanggup membayar paling mahal maka ia lelaki pertama yang menang dalam acara bukak klambu tersebut. Sebelum bukak klamu itu terjadi Srintil menemui Rasus, mereka berdua sangat terlihat begitu saling menyayangi, karena Rasus sangat membenci acara itu tetapi pemuda itu sudah tidak dapat berbuat apa-apa. Kini srintil mengucapkan sesuatu kepada Rasus agar dia yang pertama kali melakukan hubungan yang tidak senonoh itu, namun Rasus menolak ajakan itu karena ia takut jika melakukan perbuatan itu di atas nisan perkuburan Ki Secamenggala. Dalam acara bukak klambu tersebut ada salah satu pemuda dari pecikalan, ia bernama Dower yang rela datang jauh-jauh demi menggikuti acara bukak klambu yang akan dilaksanakan pada malam sabtu. Pemuda itu sudah datang bertamu dirumah Kartareja, dan disambutnya, setelah dipersiapkan duduk pemuda itu ditanya Kartareja apa tujuan utama pemuda itu. Akhirnya menjawab akan mengikuti acara bukak klambu, namun persyaratan yang ia bawa masih kurang karena ia hanya membawa satu ekor kerbau betina tetapi belum membawa ringgit emas. Kini Kartareja sudah mulai licik dengan pemuda itu, karena persyaratan masih kurang. Pemuda yang kedua ia bernama Sulam ia adalah anak seorang lurah, namun mereka terlalu meremehkan pemuda pecikalan.
Kini Srintil sudah resmi menjadi ronggeng di Dukuh Paruk, banyak orang-orang disekitarnya yang begitu memanjakan Srintil selayaknya seperti boneka. Kini teman Srintil waktu kecil berfikir bahwa sudah melupakan teman bermainnya. Rasus mulai berfikir bahwa bayangan tentang diri emaknya terhadap Srintil sudah memudar, hingga pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Dukuh Paruk. Namun , nenek Rasus sudah melarangnya agar tetap tinggal disini tetapi keinginannya sudah bulat bahwa ia harus segera meninggalkan Dukuh Paruk yang miskin ini. Sejak kepergian Rasus kini meninggalkan sakit yang mendalam terhadap diri Srintil, setiap diundang untuk menari dalam acara penting Srintil selalu menolaknya seperti perayaan agustusan pada tahun 1964. Srintil selalu tertutup dan terlihat begitu murung, karena orang yang selama ini ada didekatnya telah meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Kini Rasus sudah menjadi anggota pasukan Sersan Slamet, namun Rasus juga tidak tega jika meninggalkan dukuh paruk, walau bagaimanapun juga dukuh itu sudah menjadi tempat tinggalnya sejak kecil.
Hari demi hari sudah berlalu, kini Srintil sudah sadar bahwa yang dia lakukan selama ini salah dan Srintil memutuskan untuk menjadi perempuan di dukuh paruk seperti yang perempuan yang lainnya. Srintil ingin menjadi istri dari seorang tentara ia bernama Rasus, akan tetapi dukun ronggeng dukuh paruk selalu menyalahkan Srintil karena selalu menolak laki-laki yang ingin membelinya dengan harga yang mahal, karena lebih memilih menggendong seorang bayi dari anak si Tampi. Pada akhirnya, kemarahan Nyai Kartareja membuat perasaan Srintil sakit yang begitu mendalam, karena mengungkit masa lalu kedua orang tuanya yang meninggal akibat keracunan tempe brongkrek. Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI. Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus. Srintil bertemu dengan Bajus. Bajus berjanji akan menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.

Cerita yang merarik dalam novel ini, bahwa di pedukuhan Paruk ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran. Seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya, karena indang merupakan wangsit yang dimuliakan oleh peronggengan. Dukuh Paruk hanya lengkap bila disana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya. Gambaran tentang Dukuh Paruk oleh ucapan luar sering berkata “ Jangan mengabadikan kemelaratan seperti orang Dukuh Paruk” atau “Hai anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis seperti Dukuh Paruk”. Jalan cerita tidak sedikit pun menjabarkan tentang bagaimana Rasus menjadi seorang tentara dan Srintil mulai beranjak menjadi wanita dewasa. Ada pun kilas balik ke masa yang lebih dulu, ketika Srintil masih bayi dan keracunan akibat tempe bongkrek itu terjadi, setidaknya itu lebih jelas penjabaran alur ceritanya. Namun, seperti ada sesuatu yang hilang atau mungkin memang disengaja ketika penggunaan alur penceritaan dari usia Rasus yang ke-14 tahun menuju penceritaan pada saat usia Rasus yang ke-20 tahun. Di akhir cerita pun seperti ada sesuatu yang menggantung, yang belum selesai.

Perbandingan sudut pandang dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebagai sudut pandang orang pertama serba tahu. Ahmad Tohari memasukkan sudut pandang keakuannya pada tokoh Rasus yang dibuat seolah tahu semua hal yang terjadi pada semua tokoh lainnya yang terdapat dalam novel ini. Dan, perbandingan novel Nayla cerita yang disampaikan sangat menyentuh hati pembaca, karena menceritakan sesosok perempuan yang keras kepala namun dengan berjalannya waktu  mampu merubah segala keadaan pada diri Nayla. Selalu bekerja keras dan tidak mudah menyerah dalam segala hal karena kegigihannya, keinginan yang diharapkan selama ini sudah tercapai.

Kelebihan dalam novel ini dapat di pahami menurut beberapa nilai, diantaranya nilai penghormatan dan kemanusiaan terhadap perempuan. Srintil berusaha untuk mempertahankan moralitasnya dan berusaha keluar dari dunia hitam yang memberikan tekanan yang mendalam. Supaya dapat dihargai oleh laki-laki, bahwa perempuan tidak selalu diperbudak dan selalu mengikuti hawa nafsu seorang laki-laki yang merendahkan harga dirinya, karena selalu dikekang dalam memilih hidupnya sendiri. Serta mampu memberi gambaran yang dapat di kenang agar kita selalu mengenang sejarah dalam kehidupan kita dan di sekeliling kita. Karena, apa yang sudah terjadi di sekeliling kita atau kehidupan kita itu merupakan pengalaman. Agar  mampu berhati-hati pada masa yang akan datang karena masa lalu bukanlah kegagalan.

Kekurangan dalam novel ini penceritan  sangat bertele-tele, karena  menceritakan keberadaan desa terpencil secara keseluruhan. Gaya bahasa yang digunakan terlalu berlebihan dan tidak sopan untuk dibaca, diantaranya seperti”bajul buntung, dsb”. Isi novel tersebut sangat membosankan untuk dibaca secara keseluruhan, karena alur ceritanya hampir sama walapun beda tempat atau kejadiannya , seperti tidak ada perubahan.