TUGAS AKHIR SEMESTER
RESENSI TRILOGI NOVEL
“ TRADISI KESENIAN MUNCULNYA TARIAN
SEBAGAI PELENGKAP BUDAYA YANG MENGAIRAHKAN MASYARAKAT ”
Dosen Pengampu : M. Fakhrur
Saifudin
Disusun Oleh :
Kusuma Wardani A310120099
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
IDENTITAS BUKU
Judul
: Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis
: Ahmad Tohari
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Tebal
Buku : 406 halaman; 21 cm
Tahun
Terbit :2011
Cetakan
ke-7 : November 2011
Harga
: Rp.65.000
ISBN
:
978-979-22-7728-9
Jenis
Buku : Fiksi
Suatu kisah yang diceritakan Ahmad Tohari dalam
dongeng novelnya yang berjudul”Ronggeng Dukuh Paruk”, novel ini adalah dari
gambaran Ahmad Tohari yang berhasil dibangkitkan dan mampu mengikis khayalan
indah tentang kehidupan dipedesaan Jawa. Ahmad Tohari pernah menjadi staf
redaktur harian Merdeka, majalah Keluarga dan majalah Amanah, semuanya di
Jakarta. Dalam karir kepengarangannya, penulis yang berlatar kehidupan
pesantren ini telah melahirkan novel dan kumpulan cerita pendek. Beberapa karya
fiksinya antara lain trilogi ''Ronggeng Dukuh Paruk'' telah terbit dalam edisi
Jepang, Jerman Belanda dan Inggris. Ronggeng Dukuh Paruk, novel yang
diterbitkan tahun 1982 berkisah tentang pergulatan penari tayub di dusun kecil.
Tohari memberikan apresiasi yang tinggi terhadap para pembuat film Sang Penari,
dan berujar ini akan jadi dokumentasi visual yang menarik versi rakyat, bukan
versi kota sebagaimana dalam film-film sebelumnya.
Pelaku dalam novel ini di antaranya adalah ;
Serintil, Kartareja, Sakarya, Rasus, Darsum, Dower, Sulam, Warta, Sersan Slamet
dan pasukan lainnya, serta warga dukuh paruk dan warga desa dawuan. Dukuh Paruk
adalah daerah terpencil yang sebagian besar adalah rakyat miskin, bodoh, dan
tanpa penggalaman yang luas. Srintil dilahirkan untuk menjadi ronggeng di Dukuh
Paruk, meskipun dalam tradisi seorang ronggeng Srintil tidak dinobatkan
mengikatkan seorang lelaki, namun Srintil tak dapat melupakan Rasus karena
sudah mengilang di Dukuh Paruk. Ronggeng sudah menjadi simbol dan tradisi di
Dukuh Paruk, jika tidak ada penerus ronggeng maka musim paceklik akan terus
berlanjut dan pada akhirnya semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil
dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua
belas tahun yang lalu. Bagi pedukuhan yang kecil, miskin, terpencil, dan
bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang, karena tanpa adalnya ronggeng kini
Dukuh Paruk merasa kehilangan jati diri. Pada akhirnya serintil telah resmi
menjadi ronggeng yang resmi, kerena kecantikannya banyak lelaki yang
menganderungi dia.
Namun, malapetaka politik tahun 1965 membuat Dukuh
Paruk hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya mereka
terbawa arus dan divonis sebagai manusia yang telah menguncangkan negara ini.
Pedukuhan itu dibakar, ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya
karena kecantikan srintil ia tidak diperlakukan semena-mena oleh penguasa di
penjara itu. Penggalaman pahit sebagai tahanan politik membuat srintil sadar
akan harkatnya sebagai manusia dan setelah bebas maka ia akan memperbaiki
citranya. Srintil berjanji tidak akan melayani lelaki manapun, ia ingin menjadi
wanita somahan. Suatu ketika muncul seseorang yang bernana Bajus, yang
menimbulkan sepercik harapan yang makin lama makin membuncah. Tapi, ternyata
Srintil kembali terempas dan membuat jiwanya hancur berantakan hingga menjadi
gila, tanpa harkat secuil apapun.
“ TRADISI KESENIAN MUNCULNYA
RONGGENG DI DUKUH PARUK SEBAGAI PELENGKAP BUDAYA YANG MENGAIRAHKAN MASYARAKAT ”
Dalam novel ini dikisahkan seorang
ronggeng atau penari, tempatnya di daerah Dukuh Paruk yang bernama Srintil.
Dukuh Paruk adalah pedesaan yang kecil, miskin, dan sangat terpencil serta
moralitas pemikirannya masih sempit. Pada saat ini Dukuh Paruk terjadi musim
kemarau atau paceklik, peladangan kering kerontang, burung-burung dan hewan
ternak lainnya berusaha mempertahankan dirinya untuk hidup. Bromocorah
dipedukuhan ini adalah Ki Secamenggala yang konon ceritanya menjadi musuh
kehidupan masyarakat, namun mereka semua memuja kuburan Ki Secamenggala yang
terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk. Di tepi kampung ada
tiga anak laki-laki yang berusaha mencabut singkong, mereka bernama Rasus,
Warta, dan Darsun, mereka bertiga melihat srintil sedang asik bermain sendirian
dibawah pohon nangka dan merangkainya daun nangka untuk dijadikan sebuah
mahkota. Setelah rangkain mahkota itu jadi lalu dipasang srintil dikepalanya,
srintil menari dan teman-temannya meragakan musik ronggeng dengan bersuara,
Srintil terlihat sangat kenes ketika menarikan selayaknya seperti ronggeng.
Dukuh
Paruk sudah menemukan indang ronggeng ia bernama srintil, Sakarya kakek srintil
menyerahkan kepada Kartareja untuk melatih Srintil dan merawatnya, karena
Pedukuhan ini sudah lama sejak kematian ronggeng terakhir sekitar dua belasan tahun
yang lalu dan akhirnya kini menemukan penggantinya gadis yang masih perawan dan
berusia sebelasan tahun. Srintil kini sudah menjadi perempuan pilihan
masyarakat dan sudah menari didepan orang-orang banyak, menurut pandangan
masyarakat ronggeng adalah milik semua orang. Ketika Srintil sudah dipilih
menjadi ronggeng maka harus menjalankan syarat untuk menjadi ronggeng yang
resmi, salah satunya adalah acara bukak klambu yang harus dilakukan dengan cara
menyerahkan keperawannya kepada lelaki yang sanggup membelinya dengan
persyaratan yang sudah dijanjikan oleh dukun ronggeng. Jika ada lelaki yang
sanggup membayar paling mahal maka ia lelaki pertama yang menang dalam acara
bukak klambu tersebut. Sebelum bukak klamu itu terjadi Srintil menemui Rasus,
mereka berdua sangat terlihat begitu saling menyayangi, karena Rasus sangat
membenci acara itu tetapi pemuda itu sudah tidak dapat berbuat apa-apa. Kini
srintil mengucapkan sesuatu kepada Rasus agar dia yang pertama kali melakukan
hubungan yang tidak senonoh itu, namun Rasus menolak ajakan itu karena ia takut
jika melakukan perbuatan itu di atas nisan perkuburan Ki Secamenggala. Dalam
acara bukak klambu tersebut ada salah satu pemuda dari pecikalan, ia bernama
Dower yang rela datang jauh-jauh demi menggikuti acara bukak klambu yang akan
dilaksanakan pada malam sabtu. Pemuda itu sudah datang bertamu dirumah
Kartareja, dan disambutnya, setelah dipersiapkan duduk pemuda itu ditanya
Kartareja apa tujuan utama pemuda itu. Akhirnya menjawab akan mengikuti acara
bukak klambu, namun persyaratan yang ia bawa masih kurang karena ia hanya
membawa satu ekor kerbau betina tetapi belum membawa ringgit emas. Kini
Kartareja sudah mulai licik dengan pemuda itu, karena persyaratan masih kurang.
Pemuda yang kedua ia bernama Sulam ia adalah anak seorang lurah, namun mereka
terlalu meremehkan pemuda pecikalan.
Kini
Srintil sudah resmi menjadi ronggeng di Dukuh Paruk, banyak orang-orang
disekitarnya yang begitu memanjakan Srintil selayaknya seperti boneka. Kini
teman Srintil waktu kecil berfikir bahwa sudah melupakan teman bermainnya.
Rasus mulai berfikir bahwa bayangan tentang diri emaknya terhadap Srintil sudah
memudar, hingga pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Dukuh Paruk. Namun
, nenek Rasus sudah melarangnya agar tetap tinggal disini tetapi keinginannya
sudah bulat bahwa ia harus segera meninggalkan Dukuh Paruk yang miskin ini. Sejak
kepergian Rasus kini meninggalkan sakit yang mendalam terhadap diri Srintil,
setiap diundang untuk menari dalam acara penting Srintil selalu menolaknya
seperti perayaan agustusan pada tahun 1964. Srintil selalu tertutup dan
terlihat begitu murung, karena orang yang selama ini ada didekatnya telah
meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Kini Rasus sudah menjadi anggota
pasukan Sersan Slamet, namun Rasus juga tidak tega jika meninggalkan dukuh
paruk, walau bagaimanapun juga dukuh itu sudah menjadi tempat tinggalnya sejak
kecil.
Hari
demi hari sudah berlalu, kini Srintil sudah sadar bahwa yang dia lakukan selama
ini salah dan Srintil memutuskan untuk menjadi perempuan di dukuh paruk seperti
yang perempuan yang lainnya. Srintil ingin menjadi istri dari seorang tentara
ia bernama Rasus, akan tetapi dukun ronggeng dukuh paruk selalu menyalahkan
Srintil karena selalu menolak laki-laki yang ingin membelinya dengan harga yang
mahal, karena lebih memilih menggendong seorang bayi dari anak si Tampi. Pada
akhirnya, kemarahan Nyai Kartareja membuat perasaan Srintil sakit yang begitu
mendalam, karena mengungkit masa lalu kedua orang tuanya yang meninggal akibat keracunan
tempe brongkrek. Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan
akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Keesokan harinya orang-orang Dukuh
Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan
polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu
berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama
Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera
PKI. Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan
politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup
segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat
ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai
seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan
Rasus. Srintil bertemu dengan Bajus. Bajus berjanji akan menikahi Srintil,
sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena
Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada
seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya
menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
Cerita yang merarik
dalam novel ini, bahwa di pedukuhan Paruk ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng
sejati bukan hasil pengajaran. Seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng
kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya, karena indang merupakan wangsit yang
dimuliakan oleh peronggengan. Dukuh Paruk hanya lengkap bila disana ada keramat
Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng
bersama perangkat calungnya. Gambaran tentang Dukuh Paruk oleh ucapan luar
sering berkata “ Jangan mengabadikan kemelaratan seperti orang Dukuh Paruk”
atau “Hai anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah,
kakimu kena kudis seperti Dukuh Paruk”. Jalan cerita tidak sedikit pun
menjabarkan tentang bagaimana Rasus menjadi seorang tentara dan Srintil mulai
beranjak menjadi wanita dewasa. Ada pun kilas balik ke masa yang lebih dulu,
ketika Srintil masih bayi dan keracunan akibat tempe bongkrek itu terjadi,
setidaknya itu lebih jelas penjabaran alur ceritanya. Namun, seperti ada
sesuatu yang hilang atau mungkin memang disengaja ketika penggunaan alur
penceritaan dari usia Rasus yang ke-14 tahun menuju penceritaan pada saat usia
Rasus yang ke-20 tahun. Di akhir cerita pun seperti ada sesuatu yang menggantung,
yang belum selesai.
Perbandingan sudut pandang dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
adalah sebagai sudut pandang orang pertama serba tahu. Ahmad Tohari memasukkan
sudut pandang keakuannya pada tokoh Rasus yang dibuat seolah tahu semua hal
yang terjadi pada semua tokoh lainnya yang terdapat dalam novel ini. Dan, perbandingan
novel Nayla cerita yang disampaikan sangat menyentuh hati pembaca, karena menceritakan
sesosok perempuan yang keras kepala namun dengan berjalannya waktu mampu merubah segala keadaan pada diri Nayla. Selalu
bekerja keras dan tidak mudah menyerah dalam segala hal karena kegigihannya, keinginan
yang diharapkan selama ini sudah tercapai.
Kelebihan dalam novel ini dapat di pahami menurut
beberapa nilai, diantaranya nilai penghormatan dan kemanusiaan terhadap
perempuan. Srintil berusaha untuk mempertahankan moralitasnya dan berusaha
keluar dari dunia hitam yang memberikan tekanan yang mendalam. Supaya dapat
dihargai oleh laki-laki, bahwa perempuan tidak selalu diperbudak dan selalu
mengikuti hawa nafsu seorang laki-laki yang merendahkan harga dirinya, karena
selalu dikekang dalam memilih hidupnya sendiri. Serta mampu memberi gambaran
yang dapat di kenang agar kita selalu mengenang sejarah dalam kehidupan kita
dan di sekeliling kita. Karena, apa yang sudah terjadi di sekeliling kita atau
kehidupan kita itu merupakan pengalaman. Agar
mampu berhati-hati pada masa yang akan datang karena masa lalu bukanlah
kegagalan.
Kekurangan dalam novel ini penceritan sangat bertele-tele, karena menceritakan keberadaan desa terpencil secara
keseluruhan. Gaya bahasa yang digunakan terlalu berlebihan dan tidak sopan untuk
dibaca, diantaranya seperti”bajul buntung, dsb”. Isi novel tersebut sangat
membosankan untuk dibaca secara keseluruhan, karena alur ceritanya hampir sama
walapun beda tempat atau kejadiannya , seperti tidak ada perubahan.